Jakarta (HukumWatch) :
Fenomena unjuk rasa yang berujung anarkis di Indonesia memunculkan pertanyaan besar: Sejauh mana kebebasan berekspresi boleh dilakukan tanpa menabrak hukum? Simak pandangan pakar hukum tata negara Dr. Abd. Rahmatullah Rorano S. Abubakar, SH., MH.
Kita perlu tahu, akhir-akhir ini, jalan-jalan utama Kota Jakarta berubah menjadi panggung perlawanan, tempat suara-suara protes menggema.
Dari spanduk harapan, kini menyisakan puing-puing ketegangan. Sayangnya, sebagian aksi yang semula damai berubah menjadi anarkis.
Di sinilah publik mulai bertanya-tanya—di mana batas antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran hukum?

Ketika Demokrasi Diuji di Jalanan
Dalam wawancara dengan Dr. Abd. Rahmatullah Rorano S. Abubakar, SH., MH., seorang akademisi dan pakar Hukum Tata Negara, terungkap bahwa kebebasan berpendapat memang dilindungi konstitusi.
“Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945 menegaskan setiap warga negara berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” ujar Rorano di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat (2/6).
Namun, menurutnya, hak ini tidak absolut. Di dalam negara hukum yang demokratis, kebebasan tetap harus berjalan di atas rel hukum.
Inilah yang menjadi titik krusial—demonstrasi sah, namun bukan tanpa aturan.
Undang-Undang Mengatur
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 hadir sebagai pijakan hukum yang menjembatani aspirasi masyarakat dan tanggung jawab negara.
Dalam UU Penyampaian Pendapat di Muka Umum, negara memberikan ruang partisipasi seluas-luasnya kepada rakyat. Tetapi, lanjut Rorano.
Artinya ada syarat yang tidak bisa diabaikan: tidak melanggar hukum.
“Demonstrasi boleh, tapi harus dilakukan secara tertib dan damai. Jangan sampai ada ujaran kebencian, hasutan, atau tindakan kekerasan,” katanya.
Sedangkan Pasal 16 UU No. 9 Tahun 1998 bahkan dengan tegas menyebut bahwa penyampaian pendapat yang melanggar aturan bisa dikenai sanksi.
Dalam konteks inilah aparat keamanan, khususnya kepolisian, berhak mengambil langkah tegas namun tetap dalam batas profesionalitas.

Anti Kritik, Pro Ketertiban
Oleh karena itu, fenomena aksi anarkis bukan hanya merusak fasilitas umum, tetapi juga mengganggu kehidupan sosial.
Dengan kata lain, kebebasan berekspresi yang tidak terkendali justru berisiko merusak makna demokrasi itu sendiri.
Negara wajib menjaga keseimbangan antara ruang partisipatif masyarakat dan perlindungan terhadap ketertiban umum. Jadi Rorano menegaskan, demokrasi bukan kebebasan tanpa batas.
“Jangan sampai semangat menyampaikan pendapat justru menabrak hukum dan merugikan sesama warga negara,” tuturnya tegas.
Demokrasi Bukan Bebas Semaunya
Apa yang sedang terjadi bukan sekadar benturan antara rakyat dan aparat. Ini soal pemahaman bersama mengenai hak dan tanggung jawab dalam berdemokrasi.
Dan negara perlu terus hadir sebagai fasilitator, bukan penghambat. Tapi rakyat pun harus belajar bahwa menyuarakan pendapat tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang mengancam ketertiban.
Unjuk rasa seharusnya menjadi wadah aspirasi, bukan panggung amarah, lanjutnya.
Ketika hukum dan kebebasan bisa berjalan beriringan, saat itulah demokrasi menemukan bentuk terbaiknya.
Kita perlu ruang aman untuk bicara, tapi juga tanggung jawab bersama untuk menjaga kedamaian. Mari kita jaga demokrasi bukan dengan amarah, tapi dengan kesadaran hukum.
Sekali lagi, di tengah era keterbukaan ini, suara rakyat adalah kekuatan. Tapi kekuatan tanpa kendali bisa menjadi bumerang.
Jadikan hukum sebagai pagar, bukan penghalang. Karena demokrasi sejati bukan hanya tentang didengar, tapi juga tentang menghargai sesama.
)**Bambang Tjoek