Jakarta (HukumWatch) :
“Hukum adalah panglima, bukan preman!” seruan ini bukan sekadar slogan. Ini adalah panggilan nurani bagi seluruh elemen bangsa untuk kembali menegakkan martabat hukum. Karena jika hukum tak lagi dihormati, maka bukan hanya keadilan yang hilang, melainkan juga harapan akan masa depan Indonesia yang aman dan beradab.
Indonesia sebagai negara hukum kembali diuji. Ketegasan kalimat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum,” seolah kehilangan gaungnya di tengah merebaknya aksi premanisme yang kian merajalela.

Dalam situasi yang mengkhawatirkan ini, ratusan advokat yang tergabung dalam TUMPAS (Tim Advokat Penegak Hukum Anti Premanisme) menyuarakan keprihatinan sekaligus perlawanan terhadap fenomena yang mencederai demokrasi dan hukum.
Premanisme bukan lagi sekadar kekerasan jalanan. Kini, ia berevolusi menjadi aksi terorganisir yang melakukan intimidasi, pemerasan, penganiayaan, bahkan menghadang penegak hukum.
Dalam banyak kasus, para pelaku menyalahgunakan simbol organisasi, memanfaatkan kekuatan massa untuk menekan hukum, dan merusak iklim usaha hingga menakut-nakuti investor.
Dan TUMPAS, sebuah gerakan advokat lintas wilayah, memilih tidak tinggal diam. Atas dasar tanggung jawab konstitusional dan moral, mereka bersuara lantang menuntut tindakan tegas aparat terhadap para pelaku. Menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003, advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri—dan mereka kini menggunakan mandat itu untuk melawan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh premanisme.
Pernyataan ini disampaikan secara terbuka di Jakarta, dalam momentum krusial ketika kepercayaan masyarakat terhadap hukum mulai luntur.
Dengan dukungan publik yang semakin besar, TUMPAS berharap gelombang perlawanan terhadap premanisme ini dapat menjalar ke seluruh penjuru negeri.
Karena Premanisme bukan hanya mengganggu ketertiban, melainkan juga menggerogoti sendi-sendi negara hukum. Investasi lari, pengusaha ketakutan, dan masyarakat sipil terintimidasi.
Jika tidak segera diberantas, Indonesia berisiko berubah dari negara hukum menjadi negara kekuasaan informal yang diwarnai kekerasan.
Oleh karena itu, ada lima poin sikap yang mereka tegaskan:
Pertama ; Menuntut Polri dan aparat lainnya bertindak tegas tanpa pandang bulu.
Kedua ; Mendukung kerja profesional aparat penegak hukum demi mengembalikan rasa aman.
Ketiga ; Menyerukan masyarakat untuk bersatu dan melawan premanisme dalam bentuk apa pun.
Keempat ; Mendorong warga berani melaporkan segala bentuk intimidasi.
Dan Kelima ; Mengajak pelaku usaha dan investor kembali beraktivitas tanpa rasa takut.
)**Don