Jakarta, HukumWatch –
“Kita sudah mengikuti proses hukum atas berbagai tuduhan terhadap Presiden ke-4 RI, KH. Abdurrahman Wahid. Akan tetapi tidak pernah terbukti apa yang dipersangkakan kepada beliau, baik dari dana Bulog maupun bantuan dari Sultan Brunei Darussalam. Di luar tuduhan tersebut, itu kan bagian dari dinamika politik saat itu. Maka menjadi tepat jika MPR mencabutnya,” terang Gus Hilmy melalui keterangan tertulis yang diterima awak media (24/09).
Gus Hilmy juga menekankan pentingnya MPR RI menerbitkan TAP MPR sebagai lanjutan dari surat penegasan administratif yang mencabut TAP MPR sebelumnya. Menurutnya, jika TAP dibatalkan dengan TAP, kekuatan hukumnya akan seimbang.
“Kami harap surat penegasan administratif MPR nantinya bisa diikuti dengan TAP MPR baru yang mencabut TAP MPR (Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban atau Pemberhentian Presiden ke-4 RI KH. Abdurrahman Wahid). Jadi kekuatan hukumnya akan seimbang,” kata Gus Hilmy.
Pencabutan TAP MPR RI, menurut Gus Hilmy, memerlukan banyak pertimbangan, termasuk pertimbangan publik. Yang paling utama adalah pejabat tersebut dinyatakan bersih dari berbagai tuduhan. Seperti Gus Dur, kata Gus Hilmy, kasusnya tidak pernah terbukti. Sedangkan pejabat yang memang terbukti menyalahgunakan kekuasaan dan merugikan negara, menurut Gus Hilmy masih bisa diperdebatkan.
“Pertimbangannya banyak, ya. Termasuk dari publik. Yang terpenting adalah orang tersebut bersih dari tuduhan-tuduhan sebelumnya. Kalau tidak terbukti, berarti persangkaan kita melalui TAP MPR itu salah dan tidak sesuai dengan kenyataan. Harus dicabut. Tapi kalau sudah terbukti bersalah, kekuasaan disalahgunakan dan negara sampai rugi, kok tetap dicabut, pastinya memunculkan perdebatan,” papar Gus Hilmy.
TAP MPR, menurut Gus Hilmy, merupakan bagian dari produk hukum perundangan – perundangan. Dalam kajian hukum dikenal, ragu-ragu terhadap kesalahan terdakwa saja tidak boleh memberi hukuman, apalagi ini jelas-jelas tidak terbukti bersalah.
“Ragu-ragu saja kita tidak boleh menghukum. Apalagi jelas terbukti tidak bersalah. Demikian juga, kita mengenal prinsip moral utama yang baik, yaitu salah dalam memberi maaf lebih baik daripada salah menghukum,” lanjut Gus Hilmy.
Selain itu, Gus Hilmy mengusulkan agar ke depan, Ketetapan MPR tidak perlu lagi menyebut nama yang bersangkutan, sebab nomor pada TAP MPR sudah cukup bisa menjelaskan. Hal ini agar tidak terjadi benturan-benturan yang tidak diinginkan.
“Kami berharap, ke depan tidak ada lagi dalam Ketetapan MPR disebutkan nama-nama yang bersangkutan. Kan sudah ada nomor ketetapannya itu, kita sudah bisa memahami siapa dan kasusnya apa. Hal ini untuk menghindari benturan-benturan yang diakibatkannya” usul Gus Hilmy.
Menurut Anggota MUI Pusat tersebut, kasus Gus Dur ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Gus Hilmy menilai jasa-jasa Gus Dur untuk bangsa dan negara dinodai oleh tuduhan-tuduhan yang tidak dapat dibuktikan.
“Orang dengan jasa yang begitu besar kepada bangsa dan negara, dirusak oleh tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal. Ini tidak hanya melukai Gus Dur, tapi juga bangsa ini karena Gus Dur adalah Bapak Bangsa. Oleh sebab itu, pencabutan ini penting sebagai upaya rekonsiliasi dan pemulihan nama baik kita semua,” pungkas Gus Hilmy.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. mengapresiasi langkah Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI yang akan menerbitkan surat penegasan administratif bahwa Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban atau Pemberhentian Presiden ke-4 RI KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sudah tidak berlaku lagi.
Pria yang juga Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut menyatakan bahwa hal itu sudah selayaknya dilakukan oleh MPR RI. Menurut Gus Hilmy, panggilan akrabnya, tuduhan-tuduhan kepada Gus Dur tidak pernah terbukti.
)***Nawasanga