Jakarta (HukumWatch) :
Senator DPD RI Azhari Cage menolak tegas usulan pengelolaan bersama empat pulau yang diklaim sepihak masuk wilayah Sumut. Ia menegaskan keempat pulau tersebut adalah milik Aceh berdasarkan bukti sejarah dan hukum.
Empat pulau kecil di ujung barat Indonesia mendadak menjadi pusat perhatian. Bukan karena eksotismenya, melainkan karena sengketa wilayah yang menyentuh urat nadi identitas masyarakat Aceh.
Senator DPD RI asal Aceh, Azhari Cage SIP, secara lantang menolak usulan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, untuk “kelola bersama”.
Baginya, ini bukan sekadar urusan administratif. Ini soal marwah, harga diri, dan sejarah panjang yang tidak bisa dihapus dengan satu surat keputusan dari pusat.

Pulau yang Diperebutkan dan Bukti Tak Terbantahkan
Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil adalah empat pulau yang menurut Azhari murni milik Aceh.
Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Ia menyebutkan adanya bukti surat tanah sejak tahun 1965, hingga kesepakatan resmi antara pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara di tahun 1988 dan 1992.
“Surat tanah tertanggal 17 Juni 1965, hingga kesepakatan yang ditandatangani Gubernur Raja Inal Siregar dan Gubernur Ibrahim Hasan adalah bukti kuat,” tegas Azhari.
“Masa kita mau berbagi rumah dengan orang lain, padahal rumah itu milik kita sejak dulu?”

Tolak Pengelolaan Bersama
Menanggapi pernyataan Bobby Nasution soal kerja sama pengelolaan, Azhari tidak bisa menahan emosinya.
“Hanya orang gila yang mau kelola bersama,” ucapnya kepada wartawan pada Minggu, 8 Juni 2025.
“Kita bukan tidak mau damai, tapi tidak untuk menyerahkan milik kita.”
Menurutnya, Pemerintah Aceh harus berdiri tegak dan bersikap tegas. Ia menekankan pentingnya menggugat SK Mendagri yang telah menetapkan keempat pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara.

Solidaritas Aceh: Ini Tentang Marwah
Azhari mengajak semua elemen masyarakat Aceh untuk bersatu. Bagi dia, ini bukan hanya urusan pejabat, tetapi urusan rakyat Aceh seluruhnya. Pulau-pulau tersebut adalah simbol kedaulatan dan sejarah.
“Pulau itu bukan sekadar daratan, tapi juga marwah dan harga diri kita sebagai bangsa Aceh. Jangan diam!” serunya.
Sengketa wilayah seperti ini mengingatkan kita bahwa batas peta bukan hanya soal garis di atas kertas. Ia menyimpan cerita panjang, sejarah, dan identitas.
Pernyataan tegas dari Azhari Cage bukan semata-mata provokasi, tapi panggilan untuk merawat warisan dan menjaga martabat daerah.
Semoga polemik ini dapat diselesaikan dengan adil dan bijak, demi menghormati sejarah dan menjaga keharmonisan antar daerah di Indonesia.
Pulau-pulau itu mungkin kecil di peta, tapi besar artinya bagi masyarakat Aceh. Jangan biarkan kepentingan politik mengaburkan kebenaran sejarah. Ini saatnya berdiri untuk kebenaran dan identitas.
)**Nawasanga