Jakarta (HukumWatch) :
Restoran Ayam Goreng Widuran Solo tidak bisa dijerat pidana halal karena belum mendaftar ke BPJPH, jelas Babe Haikal. Namun, konsumen masih bisa menempuh jalur hukum perlindungan konsumen.
Yup … Solo menjadi sorotan, bukan lantaran batiknya, tapi karena sepiring ayam goreng. Yaa, Ayam Goreng Widuran, rumah makan legendaris itu kini viral karena produknya yang dinyatakan tidak halal.
Lantas , apakah pemiliknya bisa dikenai pidana? Jawabannya: tidak semudah itu.
Hal ini dijelaskan langsung oleh Ahmad Haikal Hasan, Kepala BPJPH, yang akrab disapa Babe Haikal.
“Enggak bisa diterapkan pidana ke Widuran, karena mereka memang tidak pernah mendaftar produk mereka ke lembaga halal,” ujar Haikal Hasan (3/6).
Belum Mendaftar, Maka Belum Bisa Diproses
Dalam keterangannya, Babe Haikal menyebut bahwa rumah makan ini memposisikan diri sebagai tempat non-halal, artinya mereka secara terang-terangan tidak mengklaim halal.
Hal inilah yang membuat jerat pidana sertifikasi halal tidak bisa diterapkan. Namun, bukan berarti konsumen tidak punya hak.
Konsumen Bisa Tempuh Jalur Perlindungan
Meski tidak bisa dijerat pidana dalam konteks sertifikasi halal, Haikal menegaskan bahwa kasus ini bisa masuk ke ranah perlindungan konsumen.
Artinya, jika ada masyarakat yang merasa dirugikan, jalur hukum masih terbuka.
“Kalau masyarakat merasa dirugikan, bisa mengambil tindakan melalui perlindungan konsumen,” tegasnya.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi ruang bagi masyarakat untuk menuntut kejelasan informasi, transparansi bahan makanan, dan akuntabilitas pelaku usaha.
Transparansi Penting dalam Dunia Kuliner
Masyarakat Indonesia, mayoritas beragama Islam, sangat mengandalkan label halal untuk memilih makanan.
Maka, keterbukaan informasi soal bahan dan proses produksi menjadi sangat penting.
Tak sedikit konsumen yang menganggap ini bukan hanya soal selera, tapi soal keyakinan.
Kisah Ayam Goreng Widuran menjadi pengingat bahwa transparansi adalah bentuk penghormatan terhadap hak konsumen.
Peristiwa ini menyentil pelaku usaha kuliner agar lebih terbuka soal produk mereka.
Bagi konsumen, ini jadi pengingat untuk selalu kritis dan cermat memilih tempat makan. Tidak semua makanan yang terlihat nikmat aman secara keyakinan.
Transparansi dan edukasi menjadi jembatan antara kepercayaan dan layanan. Semoga kejadian ini membawa perbaikan bagi dunia kuliner Indonesia.
)**Djunod