Jakarta (Hukumwatch) :
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menggelar sidang putusan praperadilan yang diajukan Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (3/3/2025).
Gugatan ini berkaitan dengan dugaan penghentian penyidikan kasus gratifikasi dan/atau suap dalam pemberian kredit Bank Jawa Tengah periode 2014-2023 yang diduga melibatkan eks Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho, mengungkapkan bahwa praperadilan ini menyoal sah atau tidaknya penghentian perkara tersebut. Gugatan ini terdaftar dengan nomor 11/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL dan diperiksa oleh hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Lucy Ermawati.

Latar Belakang Gugatan
LP3HI menggugat KPK karena dianggap tidak memproses laporan Indonesia Police Watch (IPW) yang diajukan pada 5 Maret 2024. Laporan tersebut menyoroti dugaan keterlibatan Direktur Utama Bank Jateng periode 2014-2023, Supriyatno, serta Ganjar Pranowo dalam skema cashback premi asuransi kredit yang diduga merugikan negara hingga Rp 100 miliar.
Menurut Kurniawan, dalam setiap pemberian kredit, nasabah wajib membayar premi asuransi kepada Asuransi Askrida. Sesuai kesepakatan, Bank Jateng seharusnya menerima cashback sebesar 15-16 persen.
Namun, dana yang seharusnya masuk sebagai pendapatan negara malah disetorkan ke rekening pribadi Direktur Utama Bank Jateng dan dibagi-bagikan, sebagai berikut ; 5 persen untuk operasional Bank Jateng; dan 5,5 persen untuk pemegang saham (Pemerintah Daerah atau Kepala Daerah) ; juga 5,5 persen untuk pemegang saham pengendali, yang diduga termasuk Ganjar Pranowo
Kurniawan menilai KPK telah menghentikan penyidikan secara diam-diam. “Seolah-olah laporan dari IPW ini didiamkan tanpa kejelasan, sehingga patut dianggap sebagai penghentian penyidikan materiil secara tidak sah dan melawan hukum,” tegasnya.
Menanggapi gugatan ini, Biro Hukum KPK menegaskan bahwa LP3HI tidak memiliki legal standing untuk mengajukan praperadilan karena bukan pelapor resmi kasus dugaan korupsi ini. KPK juga menyatakan bahwa penetapan tersangka hanya bisa dilakukan jika ada bukti permulaan yang cukup, sesuai dengan Undang-Undang KPK dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-X/2014.
“Penanganan tindak pidana korupsi harus berdasarkan temuan bukti yang cukup, bukan atas dasar putusan hakim praperadilan,” ujar Biro Hukum KPK.
Sidang putusan ini menjadi sorotan publik karena menyangkut dugaan keterlibatan tokoh politik besar serta kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi. Keputusan hakim akan menentukan langkah hukum selanjutnya dalam kasus ini.
)**Djunod