Toba (Uritanet) :
Anggota DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, menghadiri doa bersama bertajuk Merawat Alam Tano Batak di Kabupaten Toba, Sumatra Utara. Acara ini menjadi momentum perlawanan rakyat terhadap perampasan tanah oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Doa bersama ini dipimpin oleh Ephorus HKBP, Pdt. Victor Tinambunan, dan dihadiri oleh berbagai pemimpin gereja, LSM, serta masyarakat sipil. Sekum PGI, Pdt. Darwin Dharmawan, juga turut hadir mewakili gereja-gereja di Indonesia.

Pdt. Penrad Siagian menegaskan bahwa perampasan tanah di Tano Batak sudah berlangsung lama. Ia menyoroti ketimpangan kekuatan antara masyarakat dan korporasi.
“Perampasan tanah ini bukan hal baru. Saya melihat sendiri perjuangan masyarakat yang terus berlanjut. Dalam konflik seperti ini, rakyat selalu menjadi korban. Karena itu, kita harus membangun jejaring perlawanan yang kuat,” tegasnya.
Gerakan Perlawanan Semakin Kuat
Penrad Siagian mengungkapkan kebanggaannya melihat gerakan perlawanan terhadap PT TPL semakin solid. Menurutnya, kehadiran pemimpin gereja dan organisasi masyarakat menunjukkan kebangkitan baru melawan ketidakadilan.
“Saya sangat bangga. Gerakan ini hidup kembali! Ini adalah kebangkitan baru melawan kezaliman yang sudah berlangsung puluhan tahun,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam konsesi PT TPL. Banyak desa tiba-tiba diklaim masuk dalam wilayah konsesi tanpa kejelasan batas, sehingga memicu konflik berkepanjangan.

“Saya sudah meminta pemerintah untuk transparan soal konsesi ini. Kita harus memastikan keadilan bagi masyarakat,” tambahnya.
Selain itu, Penrad mendesak agar dilakukan audit sosial dan lingkungan terhadap PT TPL. Ia menyoroti dampak buruk keberadaan perusahaan ini, termasuk jatuhnya korban jiwa seperti yang dialami Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan.
“Negara harus menjamin hak rakyat atas tanah mereka sendiri. Ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga hak asasi manusia,”tegasnya.
Penrad juga mengecam adanya gangguan terhadap ibadah, termasuk pemindahan lokasi doa bersama. Ia menduga ada campur tangan PT TPL dalam hal ini.
“Jika benar PT TPL berada di balik ini, maka ini keterlaluan! Sebelum acara, saya sudah meminta jaminan dari Kapolres dan Camat agar lokasi ibadah tidak dipindahkan. Tapi nyatanya tetap terjadi perpindahan,” ungkapnya.
Penrad memperingatkan bahwa tindakan seperti ini berbahaya secara sosial, politik, dan kultural, terutama di Tano Batak yang memiliki ikatan erat dengan gereja.
“Mengganggu pimpinan gereja di Tano Batak bisa memicu respons yang tak terduga. Pemerintah dan kepolisian harus lebih bijak dalam menangani konflik ini agar tidak memperburuk situasi,” tutupnya.
Doa bersama Merawat Alam Tano Batak bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga simbol perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan. Dengan semakin solidnya gerakan ini, perjuangan masyarakat Tano Batak dalam mempertahankan hak atas tanah mereka akan terus berlanjut.
)**Tjoek