Medan, HukumWatch –
Pasutri yang didakwa memalsukan surat kuasa hingga perusahaan merugi Rp.583 miliar di vonis Hakim Onslag (Vonis Lepas) sehingga menuai sorotan. Bahkan muncul desakan Komisi Yudisial (KY) turun tangan karena putusan onslag tersebut yang patut diduga tak lepas dari ‘praktik mafia’ peradilan, demikian tegas Ketua Umum Barisan Advokat Bersatu, Herwanto Nurmansyah (6/11).
“Bamoaknya harus didalami juga oleh KY perkara ini seperti perkara (vonis bebas Ronald Tannur) di PN Surabaya yang ternyata hasil suap,” jelasnya Hermanto Nurmansyah lagi.
Lantaran, patut diduga berpotensi suap pada kasus pemalsuan Surat Kuasa ini dengan terdakwa Yansen (66) dan Meliana Jusman (66) yang disidangkan di PN Medan tersebut. Terlebih melihat kasusnya tergolong besar karena terkait uang lebih dari setengah triliun rupiah. Sehingga hal ini mirip seperti vonis bebas Ronald Tannur yang merupakan anak pengusaha besar.
“Artinya, mengawal perkara itu ya harus dari upaya pencegahan. Harapannya perkara-perkara seperti ini bisa dicegah sejak awal untuk menghindari putusan yang multitafsir,” sambung Ketua Umum Barisan Advokat Bersatu, Herwanto Nurmansyah.
Tidak hanya mendesak KY, Ketua Umum Barisan Advokat Bersatu, Herwanto Nurmansyah juga meminta onslag PN Medan mendapat perhatian dari Komisi Hukum di DPR RI, Jakarta. Dan berharap Komisi Hukum DPR bergerak seperti saat pertama kali merespons vonis bebas Ronald Tannur.
“Ini sudah dibuktikan di perkara PN Surabaya (Ronald Tannur) ternyata ada oknum hakim yang bermain suap. Artinya, kita belajar dari pengalaman, sehingga patut diduga perkara di Medan ini, serupa tapi tak sama seperti perkara yang di Surabaya (juga karena suap, red),” papar Ketua Umum Barisan Advokat Bersatu, Herwanto Nurmansyah lebih jauh.
Desakan serupa pun disuarakan praktisi hukum Edi Hardum, yang menilai onslag yang diketuk palu Majelis Hakim PN Medan terhadap suami istri yang melakukan pemalsuan tanda tangan CV Pelita Indah, Yansen dan Meliana Jusman, sesuatu yang tidak masuk akal. Apalagi, vonis dijatuhkan Majelis PN Medan dengan alasan perkara bukan pidana tetapi perdata.
“Ini tidak masuk akal. Itu kan kasus pemalsuan surat ada pada Pasal 263 KUHP. Itu jelas ranah pidana,” tegas Edi Hardum.
Edi Hardum pun menduga putusan onslag dalam kasus pemalsuan tanda tangan Direktur CV Pelita Indah atas nama Hok Kim ini terjadi karena ada dugaan suap.
“Saya menduga, hakim yang melakukan putusan onslag itu sama dengan hakim yang putusan bebas di Surabaya. Patut diduga ada permainan, bisa sogok atau yang lain. Oleh karena itu saya meminta KY memeriksa ini,” tukas Edi Hardum selaku praktisi hukum.
)***Tres/ Nawasanga