Jakarta, HukumWatch –
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menekankan perlunya revisi dan pemisahan aturan ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja untuk menghindari konflik norma yang membingungkan bagi pekerja.
Dalam putusan MK ini, sejumlah aturan yang sebelumnya diubah dalam UU Cipta Kerja diinstruksikan untuk dikembalikan seperti aturan awal yang termuat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Salah satu perubahan yang paling menonjol adalah terkait perhitungan pesangon untuk karyawan yang di-PHK. Sebelumnya, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan pengali uang pesangon dan beberapa komponen hak karyawan, termasuk Uang Penggantian Hak (UPH).
Namun, MK memutuskan untuk mengubah frasa besaran uang pesangon dalam UU yang bersifat tetap menjadi ‘paling sedikit.’ Misalnya, besaran pengali uang pesangon untuk kategori pensiun yang sebelumnya dikurangi dari dua kali menjadi 1,75 kali, serta dihapusnya Uang Penggantian Hak sebesar 15% dari uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja.
Dengan adanya keputusan ini, perhitungan pesangon dan hak-hak karyawan yang di-PHK diharapkan lebih mendekati keadilan.
Perlu diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan dari Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja untuk menguji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, khususnya dalam aturan terkait ketenagakerjaan.
Putusan ini merupakan respons MK terhadap uji materi atas ketidaksinkronan antara UU Cipta Kerja dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Dalam gugatannya, para pengaju uji materi mengatakan putusan ini yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pekerja, terutama bagi mereka yang mengalami PHK.
Dan Keputusan MK ini disambut baik oleh para pekerja dan serikat buruh yang selama ini memperjuangkan kepastian hukum dan keadilan dalam PHK. Bagi para pekerja yang terkena PHK dalam setahun terakhir, keputusan ini dinilai lebih memperhatikan nasib dan kesejahteraan. Lalu bagaimana aturan terbaru mengenai pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang terkena PHK merujuk pada putusan MK?
Putusan ini dinilai penting dalam memberikan kepastian hukum bagi pekerja yang rentan mengalami PHK, terutama di masa sulit seperti saat ini. Namun, MK juga mengingatkan bahwa keputusan ini adalah bagian dari langkah awal. Pemerintah dan DPR kini diwajibkan untuk segera merumuskan undang-undang ketenagakerjaan yang baru, terpisah dari UU Cipta Kerja, yang lebih harmonis dan mudah dipahami oleh masyarakat luas
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan dari Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja untuk menguji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, khususnya dalam aturan terkait ketenagakerjaan.
Putusan ini merupakan respons MK terhadap uji materi atas ketidaksinkronan antara UU Cipta Kerja dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Dalam gugatannya, para pengaju uji materi mengatakan putusan ini yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pekerja, terutama bagi mereka yang mengalami PHK.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menekankan perlunya revisi dan pemisahan aturan ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja untuk menghindari konflik norma yang membingungkan bagi pekerja. Dalam putusan MK ini, sejumlah aturan yang sebelumnya diubah dalam UU Cipta Kerja diinstruksikan untuk dikembalikan seperti aturan awal yang termuat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Salah satu perubahan yang paling menonjol adalah terkait perhitungan pesangon untuk karyawan yang di-PHK. Sebelumnya, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan pengali uang pesangon dan beberapa komponen hak karyawan, termasuk Uang Penggantian Hak (UPH).
Namun, MK memutuskan untuk mengubah frasa besaran uang pesangon dalam UU yang bersifat tetap menjadi ‘paling sedikit.’ Misalnya, besaran pengali uang pesangon untuk kategori pensiun yang sebelumnya dikurangi dari dua kali menjadi 1,75 kali, serta dihapusnya Uang Penggantian Hak sebesar 15% dari uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja.
Dengan adanya keputusan ini, perhitungan pesangon dan hak-hak karyawan yang di-PHK diharapkan lebih mendekati keadilan.
Putusan ini dinilai penting dalam memberikan kepastian hukum bagi pekerja yang rentan mengalami PHK, terutama di masa sulit seperti saat ini. Namun, MK juga mengingatkan bahwa keputusan ini adalah bagian dari langkah awal. Pemerintah dan DPR kini diwajibkan untuk segera merumuskan undang-undang ketenagakerjaan yang baru, terpisah dari UU Cipta Kerja, yang lebih harmonis dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Keputusan MK ini disambut baik oleh para pekerja dan serikat buruh yang selama ini memperjuangkan kepastian hukum dan keadilan dalam PHK. Bagi para pekerja yang terkena PHK dalam setahun terakhir, keputusan ini dinilai lebih memperhatikan nasib dan kesejahteraan. Lalu bagaimana aturan terbaru mengenai pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang terkena PHK merujuk pada putusan MK? Aturan Terbaru Pembayaran Pesangon Karyawan Terkena PHK Untuk karyawan yang terkena PHK, sejak ditetapkannya putusan terbaru MK maka tidak ada ada lagi batasan tertentu seperti yang sebelumnya berlaku dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja, setiap pegawai yang terkena PHK bisa mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan dari perusahaan atau hanya mendapat salah satu sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. Pada aturan itu uang pesangon bisa diterima maksimal 9 kali dari upah bulanan untuk masa kerja 8 tahun.
Untuk perhitungan uang penghargaan yang didapatkan oleh karyawan yang di PHK akan mendapat maksimal 10 kali upah untuk pekerja yang sudah mengabdi lebih dari 24 tahun.
Uang penghargaan paling rendah diberikan kepada pekerja yang telah tiga tahun bekerja yaitu sebanyak dua kali upah bulanan.
Namun, dengan keluarnya putusan MK, buruh dimungkinkan mendapatkan pesangon lebih banyak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. Merujuk ketentuan ini, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Pada putusan MK ditekankan frasa ‘paling sedikit’ sehingga membuka ruang negosiasi antara pekerja dan pemberi kerja. Meski begitu ketentuan pembayaran pesangon, uang prestasi dan uang penggantian hak ini bisa saja berubah seiring dengan penyusunan aturan baru oleh DPR bersama pemerintah sebagaimana diperintahkan MK yang berlaku dalam kurun waktu dua tahun.
)**Don/ Tjoek