Jakarta (HukumWatch) :
Tragedi kemanusiaan kembali mengguncang ruang publik. Seorang penagih utang meregang nyawa usai menjadi korban pengeroyokan brutal di depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025). Sementara satu orang lagi meninggal di rumah sakit.
Peristiwa memilukan ini tak hanya merenggut satu nyawa, sedangkan satu lagi nyawa melayang di rumah sakit, tetapi juga menyeret enam oknum anggota Polri ke pusaran proses hukum yang berat dan berlapis.
Dalam perkembangan terbaru, Polri secara resmi menetapkan enam anggota Satuan Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri sebagai tersangka. Mereka masing-masing berinisial Brigadir IAM, Bripda JLA, Bripda RGW, Bripda IAB, Bripda BN, dan Bripda AM.
Keenamnya dijerat Pasal 170 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait tindak kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum hingga menyebabkan korban meninggal dunia, dengan ancaman pidana berat.
Penetapan tersangka ini menjadi sinyal tegas bahwa hukum tidak berhenti pada simbol seragam. Polri memastikan proses penegakan hukum berjalan dua arah: pidana dan etik.
Selain menghadapi penyidikan pidana, para tersangka juga akan menjalani sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP), yang berpotensi menjatuhkan sanksi paling berat, termasuk pemberhentian tidak dengan hormat.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, menegaskan komitmen institusi untuk mengusut tuntas perkara ini secara transparan, profesional, dan akuntabel.
Ia menyampaikan bahwa sidang etik dijadwalkan digelar pada Rabu (17/12/2025), menyusul ditemukannya bukti permulaan yang dinilai cukup kuat untuk membawa perkara ini ke meja persidangan etik.
Kasus ini menjadi cermin keras bagi institusi penegak hukum. Publik menaruh harapan besar agar proses hukum tidak sekadar berjalan, tetapi benar-benar menghadirkan keadilan substantif.
Di tengah sorotan tajam masyarakat, langkah tegas Polri dinilai krusial untuk menjaga marwah institusi dan memulihkan kepercayaan publik yang terus diuji.
Pada akhirnya, tragedi di TMP Kalibata bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga soal kemanusiaan. Hukum harus berdiri tegak tanpa pandang bulu, karena keadilan sejati lahir ketika kebenaran tidak dikalahkan oleh kuasa—dan itulah ujian paling telanjang dari negara hukum yang sesungguhnya.
Hukum tidak boleh lelah, dan keadilan tidak boleh ragu. Ketika nyawa melayang, kebenaran harus berdiri paling depan—tanpa seragam, tanpa kuasa, hanya atas nama kemanusiaan.
)***Donz/ Foto Ist.

