Jakarta (HukumWatch) :
Ini adalah pabrik. Pabrik yang nggak mengeluarkan asap dan suara mesin yang berisik. Tak ada deru. Tak ada peluh. Ini pabrik yang sunyi.
Karena yang bekerja di dalamnya adalah kurcaci digital, barisan smartphone yang disusun rapi di rak-rak, ia mengetik sendiri, ia memberi komentar, ia menyebar tautan, iamenyukai konten. Ini barisan bot yang diprogram untuk satu tujuan: “Membentuk Opini”.
Sekali lagi, pabrik telepon smartphone yang tidak membuat perangkat, tapi membentuk persepsi.
Dalam sekali sentuh, ribuan akun bergerak bersama: membanjiri ruang digital dengan narasi tertentu, “Menaikkan atau Menjatuhkan citra’, hingga “Menutupi” kenyataan dengan kabut ilusi.
Di dunia ini, ribuan akun bisa membuat isu “terlihat penting” padahal tidak pernah tumbuh dari kepedulian warga.
Prof. Merlyna Lim, dari Carleton University, menegaskan bahwa “disinformasi yang dikurasi secara algoritmik”—sebuah bentuk baru dari kekuasaan yang membajak opini publik melalui mesin.
Bot tidak sekadar mengulang pesan kosong, mereka meniru manusia, memancing emosi, dan menggiring sentimen.
Yup … kita hidup di zaman pasca-kebenaran, di mana emosi lebih viral daripada data, dan viralitas lebih penting daripada verifikasi.
Dan Agenda setting bukan hanya soal apa yang diberitakan, tapi bagaimana sesuatu itu diberitakan, jelas Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent.
Begitu pula dengan datangnya Al sebagai “Dewa Penolong”. Sekilas, kita seperti sudah menemukan pelita dalam gelap. Padahal pendiri First Draft, Dr. Claire Wardle, memperingatkan bahwa “Al dapat mendeteksi kebisingan, tapi tidak bisa membedakan antara riuh dan kebenaran.”
Seperti kita sudah mengklarifikasi data, tapi media lebih suka memuat versi viral yang keliru karena kliknya lebih banyak.
Ini semacam situasi damned if you do, damned if you don’t.
Al adalah mikroskop. Tapi yang membacanya tetap manusia. Pinter pinterlah memahami ironi dalam meme, membaca nada dalam komentar, menelaah wacana, memakna di balik simbol simbol, ada apa di balik frasa, dan merasakan suhu emosi masyarakat di antara algoritma.
Ingat !!! Kita adalah penjaga integritas di tengah pasar kebohongan, dan ketika kejujuran sudah menjadi komoditas langka.
)***Nawasanga