Jakarta (HukumWatch) :
Wacana legalisasi kasino di Indonesia kembali mencuat. Sebagian pihak menyebutnya sebagai solusi cerdas untuk menambah pendapatan negara. Tapi benarkah semua bisa dikalkulasi dalam angka? Di tengah pro-kontra yang mengemuka, satu suara lantang datang dari Aceh—suara yang menolak tegas, bukan karena benci pada kemajuan, tapi karena cinta pada nilai-nilai luhur bangsa.
Adalah H. Sudirman atau yang lebih akrab disapa Haji Uma, anggota Komite I DPD RI asal Aceh, yang dengan tegas menentang ide ini. Bukan hanya karena statusnya sebagai senator, tapi juga karena keyakinan yang ia pegang kuat—bahwa Indonesia berdiri bukan di atas untung dan rugi semata, melainkan di atas nilai, iman, dan etika.
Kasino Bertentangan dengan Pancasila
“Wacana hadirnya kasino itu tidak sesuai dengan nilai Pancasila,” ujar Haji Uma, Sabtu (18/5), dengan nada serius. Ia menggarisbawahi sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai fondasi yang seharusnya tidak digadaikan untuk apa pun, termasuk alasan ekonomi.
Menurutnya, semua agama yang diakui di Indonesia menolak perjudian. “Tidak ada agama yang melegalkan judi, karena itu perbuatan tercela dan merusak akhlak,” tambahnya.
Haji Uma mengajak publik berpikir lebih dalam. Ia khawatir jika negara membuka pintu untuk kasino, maka akan membuka ruang lebih luas bagi kerusakan sosial. Perjudian bukan cuma soal menang atau kalah—lebih jauh, ini soal rumah tangga yang hancur, ekonomi keluarga yang terpuruk, dan moral masyarakat yang luntur.
“Kalau alasan utamanya pemasukan negara, masih banyak potensi lain yang lebih bermartabat,” katanya lugas. Ia mencontohkan sektor UMKM, ekonomi kreatif, hingga optimalisasi pajak digital sebagai jalan yang lebih sehat.
Uang Judi ke Luar Negeri!?
Salah satu argumen dari pihak pro-legalisasi adalah soal maraknya uang judi yang kabur ke luar negeri. Menurut Haji Uma, logika ini justru bisa jadi bumerang. “Solusinya bukan melegalkan yang salah, tapi perkuat penegakan hukum. Negara harus hadir sebagai penjaga moral, bukan malah jadi pelindung kesalahan,” tegasnya.
Penolakan Haji Uma bukan hanya mewakili suara Aceh, melainkan suara banyak warga Indonesia yang khawatir arah kebijakan negeri ini mulai melenceng dari nilai-nilai dasar. Ia mendesak pemerintah dan DPR RI untuk mengkaji ulang usulan ini dengan jernih, penuh pertimbangan etika, konstitusi, dan suara publik.
Isu legalisasi kasino ini memang menyentuh titik sensitif bangsa—antara ekonomi dan moralitas. Tapi seperti yang diingatkan Haji Uma, bangsa besar adalah bangsa yang mampu menyeimbangkan keduanya, tanpa mengorbankan nilai dasar yang telah membentuk identitasnya sejak awal.
Mari terus jaga suara kritis dan nurani publik agar tetap didengar. Dan untuk kamu yang peduli arah negeri ini, pantau terus kabar berikutnya. Karena masa depan Indonesia bukan hanya ditentukan di ruang rapat, tapi juga oleh suara-suara seperti milikmu.
)**Tjoek