Jakarta (HukumWatch) :
Suasana di Pengadilan Negeri (PN) Solo hari ini dipenuhi harap dan tanda tanya. Gugatan dugaan ijazah palsu terhadap Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, resmi memasuki babak mediasi. Namun, bukan Jokowi yang hadir. Ia menunjuk kuasa hukumnya, YB Irpan, untuk mewakili dirinya. Keputusan itu menuai kekecewaan dari pihak penggugat.
Adalah Muhammad Taufiq, pengacara asal Solo, yang menggugat Jokowi lewat perkara nomor 99/Pdt.G/2025/PN Skt. Ia tak hanya menggugat Presiden sebagai tergugat pertama, tetapi juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Solo, SMAN 6 Solo, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Bagi Taufiq, perkara ini bukan sekadar gugatan. Ini tentang keterbukaan, tentang menjawab rasa ingin tahu publik, tentang kepercayaan yang harus dijaga oleh seorang pemimpin.
“Ijazah itu bukan barang gaib,” tegas Taufiq usai sidang. “Itu bukti seseorang menyelesaikan pendidikan. Jika benar ada, tunjukkanlah. Masyarakat hanya ingin melihat kebenaran.”
Sidang mediasi hari ini seharusnya menjadi momen awal untuk mencari solusi damai. Namun, kehadiran kuasa hukum dinilai Taufiq belum cukup menjawab substansi persoalan. Ia berharap Jokowi hadir langsung dan menunjukkan ijazah aslinya. Bila itu terjadi, ia bahkan bersedia memasang iklan ucapan selamat.
Transparansi dan Itikad Baik
Menurut Taufiq, mediasi bukan sekadar formalitas. Ketidakhadiran Jokowi dinilai sebagai isyarat lemahnya itikad baik. “Kalau dua kali tidak hadir, bagaimana masyarakat tidak bertanya-tanya? Publik sudah terlalu lama dibiarkan dalam kebingungan,” katanya dengan nada getir.
Ia juga mempertanyakan jika ijazah ditunjukkan hanya oleh kuasa hukum namun tidak boleh difoto atau didokumentasikan. “Kalau begitu, ini bukan persidangan. Ini seperti bayangan di balik tirai,” sindirnya.
Di sisi lain, YB Irpan selaku kuasa hukum menegaskan bahwa kehadirannya sah secara hukum. Jokowi telah memberikan surat kuasa khusus untuk proses mediasi. Menurutnya, tidak adil jika Presiden dinilai tidak beritikad baik hanya karena tidak datang langsung.
“Beliau telah mempercayakan proses mediasi ini kepada kami secara resmi. Maka, tidak bisa disimpulkan beliau tidak kooperatif,” jelas Irpan.
Kasus ini lebih dari sekadar perkara hukum. Ia menjadi potret bagaimana kepercayaan publik terbentuk atau runtuh. Di era keterbukaan informasi, masyarakat tidak lagi bisa dipaksa percaya tanpa bukti. Mereka butuh kejelasan—bukan retorika.
Kini, bola ada di tangan Presiden Jokowi. Mediasi selanjutnya akan menjadi ujian. Apakah ia akan tampil langsung, menjawab keraguan, dan menutup spekulasi? Atau membiarkan keraguan terus bergulir tanpa arah?
)**Don