Jakarta (HukumWatch) :
Sidang kasus korupsi proyek di Kota Semarang menguak keterlibatan aparat TNI, Polri, dan jaksa dalam skema pembagian jatah proyek. Ada gratifikasi, ada pemerasan, dan yang lebih parah: semua dianggap sebagai ‘kemitraan’.
Angin busuk korupsi kembali bertiup kencang dari Semarang. Persidangan kasus dugaan penyelewengan proyek infrastruktur di Kota Semarang memperlihatkan dengan jelas betapa dalam praktik “kemitraan” antar lembaga justru menyamarkan korupsi berjamaah yang menggurita.
Dalam sidang yang digelar Senin (28/4/2025), terdakwa Eko secara blak-blakan mengakui bahwa proyek infrastruktur yang seharusnya untuk rakyat, malah dibagi-bagi kepada jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam). Jatah itu menyasar Danramil, Kapolsek, Kejaksaan, bahkan Kodim. Semua disebut dalam satu tarikan napas—seolah wajar dan rutin.
“Ya memang begitu,” jawab Eko ketika Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi, mengonfirmasi keterlibatan aparat dalam aliran jatah proyek.
Tak berhenti di situ, Eko mengungkap bahwa meskipun proyek ditujukan ke Forkopimcam, pelaksanaannya tetap dikerjakan oleh rekanan dari Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional (Gapensi) Kota Semarang. Pimpinan Gapensi, Martono, disebut-sebut sebagai kolega dekat Alwin Basri, aktor utama dalam perkara ini.
Proyek Bertopeng Kemitraan
Eko berupaya menutupi praktik haram ini dengan menyebutnya sebagai “kemitraan wilayah”. Dalam pengakuannya, pemberian proyek kepada Forkopimcam dianggap sebagai bagian dari sinergi lintas lembaga.
Namun, publik tentu tahu itu bukan kemitraan. Itu adalah pengondisian proyek, praktik yang menjurus pada penyalahgunaan kewenangan dan potensi gratifikasi.
“Memang salah satu yang kami berikan ke temen-temen Forkopimcam seperti itu. Yang dikasih proyeknya,” ungkap Eko tanpa rasa bersalah.
Fakta lain yang mengagetkan: pengondisian tidak hanya terjadi di tingkat kecamatan, tetapi juga menyentuh Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah). Alokasi proyek ternyata tak hanya untuk aparat wilayah, tetapi juga untuk kepolisian, TNI, dan kejaksaan.
Dalam sidang yang sama, Eko mengaku pernah menemani Ketua Gapensi, Martono, dan Camat Gajahmungkur, Ade Bhakti, dalam sebuah pertemuan dengan Kanit Tipikor Polrestabes Semarang pada Januari 2023. Ketika hakim bertanya apakah pertemuan itu berkaitan dengan temuan KPK, Eko dengan cepat menjawab:
“Iya, termasuk itu.”
Jawaban itu menjadi penegas: ada hubungan antara “koordinasi proyek” dan dugaan gratifikasi yang kini disidangkan.
Dalam sidang dakwaan sebelumnya, Jaksa KPK menyebut Alwin dan Wali Kota Semarang nonaktif, Mbak Ita, menerima gratifikasi Rp2 miliar. Mereka juga didakwa menerima suap Rp3,7 miliar dari proyek meja kursi SD, dan memeras ASN Bapenda melalui iuran hasil pemotongan insentif pajak sebesar Rp3 miliar.
Di tengah janji pembangunan, justru terjadi perampokan sistematis. Ketika anggaran publik dipermainkan untuk kepentingan elit, rakyat kembali jadi korban. Ironisnya, praktik ini dibungkus rapi dengan istilah “kemitraan”, seolah niatnya mulia.
Kasus ini adalah pengingat penting bahwa transparansi bukan pilihan, melainkan keharusan. Ketika Forkopimcam dan Forkopimda ikut bermain proyek, siapa lagi yang akan mengawasi? Rakyat butuh pembangunan, bukan proyek penuh tipu daya.
)***Don