Categories INTERMEZZO

Dukacita Payung Hitam : Kemerdekaan Dibungkam ..!

Jakarta (HukumWatch) :

Setelah insiden penggembokan pintu pameran dan pembredelan seni pameran Yos Sudarso di Galeri Nasional Jakarta, terjadi lagi insiden pelarangan karya seni. Kali ini, mimpi buruk itu menimpa pertunjukan “Wawancara Dengan Mulyono” karya Teater Payung Hitam, yang sedianya akan dipentaskan Sabtu malam 15 Februari 2025 pukul 19.00 WIB, di ISBI, Jalan Buah Batu, Bandung. Sebelum pertunjukan, pintu tempat pertunjukan sudah digembok oleh pihak rektorat ISBI Bandung. Padahal pihak keamanan (Polisi) dalam mengurus izin pertunjukan tiada masalah artinya tiada pelarangan oleh pemerintah. Tindakan rektorat ISBI tersebut merupakan cerminan sikap pengecut hingga harus membungkam sekaligus membunuh karya kreatif seni dari para seniman yang dilahirkan dari rahim institusi pendidikan seni ISBI itu sendiri.

“Sebelumnya Baliho peluncuran buku monolog dan pertunjukan Wawancara dengan Mulyono’ sudah 2 kali diturunkan oleh pihak pimpinan ISBI Bandung. Bagi saya penurunan baliho (sampai 2 kali diturunkan) adalah pelarangan. Saya sudah minta pimpinan ISBI menerbitkan surat larangan bagi pertunjukan “Wawancara dengan Mulyono’ dan peluncuran buku “Teks-teks Monolog’ saya. Dengan adanya surat larangan agar menjadi terang dan jelas masalahnya. Sampai hari ini surat larangan itu tidak ada. Sungguh memprihatinkan keberadaan kampus almamater saya ini” dengan ekspresi geram Rahman Sabur, sang sutradara mengungkapkan kekesalannya.

Teater Payung Hitam, Bandung, pimpinan Rachman Sabur, tumbuh di era 1970an, dengan kesadaran penuh, bahwa Indonesia sebagai tanah leluhur harus dibela dengan cara apapun. Tak takut dia pada mati, pada perut lapar, pada peluru, pada tank baja, pada hempasan kekuasaan, pelarangan, sensor, di era pola politik praktis “sensor-isme politis”, pada dekade sejarah negeri ini.

Betulkah pelarangan dan pemberedelan karya seni hanya melibatkan pihak gedung pertunjukan dan galeri dan tiada campur tangan ataupun instruksi dari pihak aparat keamanan atau lembaga pemerintahan?! Pada kedua kasus diatas, mungkin benar dan selalu ada apologia sekaligus segudang alasan padahal pada kenyataannya boleh jadi cuci tangan merupakan jurus yang paling jitu untuk membungkam sekaligus mensensor kreativitas seni dan kebebasan bersuara di negeri yang kabarnya telah merdeka sejak tahun 1945.

Pelarangan dan sensor karya seni itu memang benar adanya dan akan menjadi mimpi buruk juga perangkat tangan besi untuk membungkam sekaligus mengungkung ruang gerak kebebasan kreativitas seniman.

Pada peringatan “SeAbad Pram” di Blora, minggu lalu, karya saya “Catastrophe 1965 : Elegi Untuk Pramoedya Toer” sebuah karya kolaborasi dengan Group Musik Punk “Marjinal” tak lolos screning oleh Kodim Blora dan dilarang untuk tampil pada panggung musik, begitupun yang terjadi pada musisi Iksan Skuter, ataupun yang menimpa Muhidin M Dahlan dipotong moderator untuk memaparkan analisanya tentang peristiwa 1965, setelah sebelumnya Ormas Pemuda Pancasila menolak dan bisa menunda keputusan DPRD Blora pada keputusan untuk penamaan jalan kecil didepan rumah Pramoedya Ananta Toer dengan namanya.

Apakah hal tersebut bukan sensor dan pelarangan?! Bila mental dan pola pikir para pemangku kekuasaan juga kebijakan tak juga berubah dari pola pikir penjajah dan f&godal sangatlah mustahil dan mimpi di siang bolong melahirkan seniman besar yang namanya menjadi abadi sebagai peraih Nobel.

Kejadian2 diatas merupakan peristiwa yang ironis, konyol sekaligus bebal, dimana saat ini telah ada Departemen Kebudayaan dimana menterinya diberbagai perhelatan sesumbar akan menjadikan Indonesia sebagai Pusat Kebudayaan Dunia. Apakah itu mungkin?! Saya meragukan bila langkah kebijakannya hanya sebatas mengurusi artefak masa lalu dan buta sekaligus tiada peduli dengan perkembangan seni modern di Indonesia yang bisa unjuk gigi dan mengharumkan nama Indonesia di berbagai Festival kelas dunia!

Perlu diketahui bahwa untuk melihat apakah sebuah negara maju atau tidak, bisa dilihat dari karya sastra dramawannya. Itulah sebabnya maka Norwegia, Amerika. Jerman, Perancis, Polandia, Jepang, Inggris dan China, disebut negara maju karena mereka mempunyai Hendrik Ibsen, Edward Albee, Bertolt Brech. Eugene lonesco, Slavomir Mrozek, Tadashi Suzuki, William Shakespeare, Wang Xian dan banyak lagi lainnya. Sementara di negeri ini hanya menjadi negara berkembang (untuk tak menyebutnya negara terbelakang) karena bila penulis dramanya disebutkan tak lebih dari sekedar hitungan jari.

Dukacita payung hitam adalah dukacita kita semua. Inilah saatnya untuk bersikap, bersuara lantang menyuarakan kebenaran dan melawan untuk memperjuangkan hak bersuara yang dilindungi oleh undang undang.

“Ada yang terjajah, terjarah dan terluka. Sementara kita disini terkesima, menantikan lokomotif perubahan yang dijanjikan tak kunjung muncul di stasiun harapan.”

)***by Amien Kamil (Poet & Artistic Director Republic Of Performing Arts); Kandang Ayam, 16 Februari 2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like