Jakarta (HukumWatch) :
Elon Musk kini semakin berpengaruh di pemerintahan Amerika Serikat, menempati posisi istimewa di Gedung Putih sebagai sekutu dekat Presiden Donald Trump. Keakraban keduanya terlihat jelas ketika Musk dengan santai mengenakan topi pet saat mendampingi Trump dalam konferensi pers di Oval Office. Bahkan, ia tak ragu menggendong anaknya yang berusia empat tahun di pundaknya, memberikan kesan bahwa ia sudah menjadi bagian dari lingkaran dalam kekuasaan.
Kedekatan Musk dengan Trump semakin nyata ketika majalah Time menampilkan dirinya sebagai cover story, dengan foto yang menunjukkan Musk duduk di belakang meja kepresidenan—suatu simbol kekuasaan yang tidak sembarang orang bisa duduki. Amerika kini seperti memiliki dua matahari kembar, dengan Musk dan Trump berebut sorotan utama di media.

Sebagai Menteri Penghematan, Musk telah memangkas banyak anggaran, mengakibatkan puluhan ribu pekerja kehilangan pekerjaan. Keputusan tegasnya bahkan berujung pada pembekuan dana USAID serta pengawasan ketat terhadap IRS. Langkah ini mendapat apresiasi sekaligus kritik, mengingat dampaknya yang luas bagi perekonomian dan birokrasi.
Korupsi di Amerika mungkin tidak tampak seperti di negara lain, tetapi praktik penyelewengan tetap ada, dilakukan melalui celah hukum yang dimanfaatkan dengan cermat. Musk, dengan pengaruh dan kekuatannya, tampaknya berupaya membersihkan sistem sekaligus memperkuat posisinya di pemerintahan.
Namun, keberadaan Musk dalam lingkaran kekuasaan mulai membuat Trump gerah. Sebagai figur yang selalu ingin menjadi pusat perhatian, Trump tidak nyaman dengan Musk yang terus mencuri sorotan sejak awal masa kepresidenannya. Sayangnya, Trump harus menerima kenyataan bahwa Musk adalah salah satu pendonor terbesar dalam kampanye serta pemilik media sosial X, yang menjadi alat propaganda efektif bagi pemerintahannya.
Meskipun Musk memiliki pengaruh besar, ia tetap tidak memenuhi syarat untuk menjadi Presiden AS karena statusnya sebagai imigran. Untuk saat ini, ia cukup puas berdiri di samping Trump, memainkan peran dalam pemerintahan dan, dalam banyak hal, melampaui pamor Wakil Presiden JD Vance yang mulai terlupakan.
Amerika Serikat kini berada di persimpangan sejarah, dengan dua tokoh besar yang saling bersaing untuk mendominasi panggung politik. Akankah hubungan mereka tetap harmonis, atau justru menjadi persaingan yang lebih sengit di masa depan?
)*B.Uster.K