Jakarta (HukumWatch) :
Eksekusi sebuah rumah mewah di Permata Hijau 2 Blok 8P, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, berujung kericuhan pada Senin (11/2). Pemilik rumah, Miswarini Ismael, bersama tim kuasa hukumnya, berusaha mempertahankan haknya karena merasa eksekusi dilakukan secara tidak adil. Meski demikian, proses pengosongan tetap berjalan dengan melibatkan belasan pengangkut barang dan tujuh truk untuk mengangkut isi rumah.
Miswarini berharap pemerintah, termasuk DPR RI dan Presiden Prabowo, turun tangan menegakkan keadilan. “Saya memiliki niat baik untuk melunasi utang, tetapi mereka menolak,” ujarnya.
Permasalahan ini bermula dari pinjaman kepada sebuah bank swasta berkantor pusat di Kuningan, Jakarta. Miswarini mengalami kendala dalam membayar utang pokok sebesar Rp4,6 miliar sejak 2020 akibat pandemi Covid-19. Saat ini, utangnya membengkak menjadi lebih dari Rp8 miliar, meskipun ia telah melakukan pembayaran sebanyak enam kali.
Yang menjadi sorotan, eksekusi dilakukan meskipun perkara masih berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 1250/Pdt.G/2024/PN JKT.SEL dan 32/Pdt.Bth/2025/PN JKT.SEL. Hingga kini, belum ada putusan inkrah dalam kasus ini.

Mediasi Gagal, Eksekusi Tetap Berjalan
Tim kuasa hukum Miswarini, yang terdiri dari Robi Anugrah Marpaung, S.H., M.H., Nizar, S.H., M.H., Hj. Marlina Tamimi, S.E., S.H., M.H., Aris Fadhillah Lubis, S.H., M.H., dan Tezar, S.H., M.H., telah melakukan berbagai upaya hukum untuk menghentikan eksekusi. Namun, aparat tetap menjalankan perintah eksekusi berdasarkan surat perintah dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Miswarini menyebutkan bahwa dirinya telah berupaya menyelesaikan masalah ini dengan menawarkan pembayaran utang pokok sebesar Rp4 miliar pada 6 Februari 2025, tetapi pihak bank menolak dengan alasan total utang beserta denda telah mencapai lebih dari Rp8 miliar.
“Kami sudah menyurati pihak bank dan menyatakan kesanggupan untuk membayar, tetapi tidak ada balasan. Pengacara kami juga telah mengadakan pertemuan dengan panitera dan jurusita, namun mereka tetap bersikeras melakukan eksekusi,” kata Miswarini.
Yang mengejutkan, lanjutnya, surat perintah eksekusi diterbitkan pada 20 Januari 2025, tetapi baru diterima pada 30 Januari 2025. Dalam waktu kurang dari dua minggu, eksekusi langsung dilakukan tanpa memberikan kesempatan lebih lanjut untuk mencari solusi.
Saat eksekusi berlangsung, jurusita yang bertugas menolak memberikan keterangan dengan alasan tidak berwenang. Situasi semakin tegang ketika pemilik rumah bersama tim hukumnya berusaha menghalangi jalannya eksekusi, tetapi tidak membuahkan hasil.
Kasus ini mendapat perhatian luas karena menyoroti ketidakpastian hukum dalam eksekusi aset yang masih dalam proses sengketa. Sejumlah pihak mempertanyakan mengapa eksekusi tetap dipaksakan meski belum ada putusan berkekuatan hukum tetap.
Sementara perkara ini masih berjalan dan belum inkrah, kenapa mereka tetap memaksakan eksekusi?” ujar Miswarini dengan nada kecewa.
Publik kini menanti apakah ada langkah hukum lanjutan untuk memperjuangkan hak Miswarini. Akankah pemerintah dan DPR RI merespons permintaan keadilan dalam kasus ini?
Ikuti terus perkembangan beritanya hanya di HukumWatch.com
)**Don