Categories LAWTALKS

Dedi Sitorus Kritik Tajam Hanya Sanksi Berat Bagi Pelanggar “Pagar Laut 30 KM Lebih” di Hadapan Menteri ATR/BPN

Jakarta (HukumWatch) :

Anggota Komisi II DPR RI, Dedi Sitorus, menyampaikan kritik tajam terkait pemberian sanksi terhadap pelanggaran hukum “Pagar Laut 30 KM Lebih” di kawasan Tangerang, Banten. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Menteri ATR/BPN di Gedung DPR RI pada 30 Januari 2025, Dedi mempertanyakan ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum atas kasus tersebut.

“Kenapa hanya diberi sanksi berat? Apakah ini hanya persoalan administratif, atau ada indikasi kejahatan hukum? Kalau hanya seperti ini, pelanggaran serupa akan terus berulang,” tegas Dedi di hadapan jajaran Kementerian ATR/BPN.

Dedi menekankan bahwa kasus semacam ini memerlukan proses hukum, bukan sekadar sanksi administratif. Menurutnya, penerbitan sertifikat bermasalah harus dibatalkan dan pihak yang terlibat dihukum agar menciptakan efek jera. “Ini bukan sekadar malpraktik administratif. Jika dibiarkan, aturan kita akan terus dimanipulasi demi kepentingan tertentu,” imbuhnya.

Selain pelanggaran pagar laut, Dedi turut mempertanyakan efisiensi anggaran Kementerian ATR/BPN yang mencapai 42,6 persen. Ia meminta klarifikasi apakah penghematan tersebut memengaruhi capaian kementerian atau rencana kerja yang sudah disusun.

Dalam kesempatan yang sama, Dedi mengungkap kekhawatirannya terkait konflik agraria, terutama di wilayah Kalimantan. Ia menyebut bahwa persoalan hak ulayat dan ketimpangan akses lahan berpotensi menjadi bom waktu bagi negara. “Populasi bertambah, lahan semakin sedikit. Ini adalah sumbu ledak yang membutuhkan perhatian serius,” ujar Dedi.

Kesejahteraan Petani Plasma Kaltara

Dedi juga menyoroti ketimpangan dalam pengelolaan perkebunan plasma di Kalimantan Utara (Kaltara). Ia menyebut bahwa petani plasma sering kali terjebak dalam lingkaran utang tanpa kejelasan keuntungan.

“Setiap tahun petani hanya mendapatkan 100-200 ribu per bulan untuk dua hektar plasmanya. Perusahaan selalu mengklaim rugi, sementara masyarakat terus menanggung utang,” ungkap Dedi. Ia mengusulkan agar lahan plasma dikembalikan kepada masyarakat agar dikelola secara mandiri.

Transmigrasi dan Ketimpangan di Kaltara

Dedi juga mengkritik minimnya kehadiran pemerintah di wilayah Kalimantan Utara. Ia menyoroti ketidakhadiran Kantor Wilayah ATR/BPN di daerah yang luasnya lebih besar dari Jawa Barat namun dihuni hanya oleh 85 ribu penduduk.

“Kenapa di Papua sudah ada beberapa kantor wilayah, tetapi di Kaltara belum? Padahal wilayah ini lebih dulu dimekarkan,” katanya.

Dedi juga menekankan pentingnya keadilan dalam program transmigrasi di Kaltara dengan pembagian yang adil, yakni 60 persen untuk masyarakat lokal dan 40 persen untuk pendatang. “Keadilan perlu dijaga agar tidak memicu konflik di masa depan,” jelasnya.

Audit Kelapa Sawit dan Penerimaan Pajak

Dedi turut mendesak pemerintah untuk mengaudit konsesi kelapa sawit, HGU, dan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan. Ia mempertanyakan apakah luas lahan yang dikuasai sesuai dengan sertifikat yang diberikan.

“Jika sertifikatnya untuk 30 ribu hektar, tetapi yang dikuasai 35 ribu hektar, ini berarti ada kewajiban yang belum dipenuhi kepada negara. Negara membutuhkan pemasukan dari pajak, jadi ini harus diperhatikan,” pungkas Dedi.

Dengan berbagai kritik dan usulan tersebut, Dedi Sitorus berharap pemerintah dapat memperkuat penegakan hukum dan menciptakan keadilan agraria di seluruh Indonesia.

)**Nawasanga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like