Jakarta (HukumWatch) :
Ketua Komite III DPD RI, Dr.Filep Wamafma, SH, MHum menegaskan sebagai sebuah ekspresi individu dan warga negara, segala bentuk pelarangan atas karya seni tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
“Oleh karena itu, Konstitusi Negara Republik Indonesia menjamin penuh kebebasan berekspresi, menyampaikan pendapat dan pandangannya dalam segala bentuk saluran yang tersedia,” tegas senator Papua Barat itu.
Segala pelarangan terhadap sebuah pentas karya seni tentu tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan kebudayaan.
Negara harus memberi ruang kebebasan berseni untuk pemajuan kebudayaan. Saya berpandangan, Menteri Kebudayaan seharusnya bisa menjadi penengah atas persoalan yang terjadi– terkait pembatalan pameran itu, ujarnya.
“Sebagai representasi negara dan pemerintah, Menteri Kebudayaan bertanggung jawab dalam hal pemajuan kebudayaan,” jelas Filep lagi.
Indonesia pernah punya sejarah kelam terkait pelarangan, penyensoran dan pembredelan berbagai bentuk karya ekspresi individu dan warga negara.
Kekuasaan otoriter yang dijalankan Orde Baru misalnya, selalu membatasi ruang gerak para seniman dalam mempertunjukkan karyanya.
Hal tersebut bukan tanpa sebab, pasalnya seni atau khususnya sastra, tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga berfungsi sebagai kritik sosial terhadap apa yang tengah terjadi di masyarakat.
Tak ayal beberapa seniman Indonesia yang berkarya selama orde baru kerap mengalami intimidasi, pembredelan, dan pembubaran secara paksa.
Sebut saja seperti penyair WS Rendra, Ratna Sarumpaet, hingga Nano Riantiarno dll.
Lukisan yang merupakan bagian dan salah satu bentuk seni adalah juga merupakan objek pemajuan kebudayaan bangsa Indonesia.
Merujuk pada UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, negara mempunyai kewajiban untuk memajukan kebudayaan Indonesia, salah satunya karena kebudayaan merupakan investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa.
)**Tjoek