Jakarta, HukumWatch –
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) akhirnya resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Selain RUU MHA, terdapat tiga RUU lain usulan DPD RI yang juga masuk Prolegnas Prioritas 2025, yaitu RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, RUU Perubahan UU Pemerintahan Daerah, dan RUU Daerah Kepulauan.
Keputusan ini menjadi angin segar bagi masyarakat adat di seluruh Indonesia yang telah lama menantikan pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka.
Anggota DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, yang sebelumnya gencar mendesak agar RUU MHA menjadi prioritas, menyambut baik langkah ini.
Dalam pernyataannya, Senator asal Sumatra Utara ini mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama memastikan target Prolegnas tersebut tercapai.
“Ini adalah cita-cita dan semangat yang sudah lama dinantikan masyarakat hukum adat. Saya mengajak semua pihak untuk berjuang mewujudkan ini menjadi kenyataan,” ujar Penrad dalam keterangannya (22/11).
Perjuangan Panjang Masyarakat Adat
Dalam sebuah rapat di Komite I DPD RI pada 15 Oktober 2024, Penrad menyoroti berbagai kasus yang menimpa masyarakat adat akibat belum adanya pengakuan yang memadai terhadap hak ulayat mereka.
Ia menegaskan pentingnya mempercepat pengesahan RUU ini demi menghindari konflik agraria dan perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat adat.
“Masyarakat adat punya peran besar dalam sejarah dan kebudayaan bangsa. Namun, hingga saat ini, banyak dari mereka yang tidak mendapatkan alas hak yang seharusnya,” ungkap Penrad.
Ia juga memastikan bahwa naskah akademik RUU MHA sudah tersedia dan lengkap, sehingga alasan administratif tidak boleh menjadi hambatan untuk segera mengesahkan undang-undang ini.
Tim Kerja RUU MHA dan Komitmen DPD RI
Dipastikan Penrad Siagian akan masuk dan bergabung dalam Tim Kerja RUU MHA. Dengan posisinya ini, ia akan lebih aktif mendorong percepatan pembahasan hingga pengesahan RUU tersebut.
“Saya akan masuk dalam Tim Kerja RUU MHA DPD RI untuk memastikan RUU MHA ini segera dibahas dan disahkan. Saya tidak mau lagi ada kriminalisasi masyarakat adat lagi karena ketiadaan payung hukum bagi keberadaan masyarakat adat,” tegasnya.
Ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat dalam bentuk kriminalisasi semakin banyak terjadi, hal ini dikarenakan tidak adanya payung hukum bagi masyarakat adat.
Ketidakadilan lain yang dialami oleh masyarakat adat adalah dirampasnya tanah-tanah ulayat yang digunakan sebagai obyek proyek-proyek besar tanpa persetujuan dan mengabaikan prinsip hak asasi manusia.
“Dalam catatan saya, kriminalisasi dan perampasan tanah ulayat banyak dialami oleh mereka. Misalnya Dolok Parmonangan, Sihaporas l, Sigala-gala yang ada di Sumatera Utara, juga Nangahale di Sikka, NTT dan masyarakat adat di Papua serta banyak masyarakat adat lain di Negeri ini,” katanya.
Menurutnya, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat bukan sekadar pengesahan undang-undang, melainkan langkah konkret untuk menjaga warisan budaya dan keadilan sosial di Indonesia.
Keputusan memasukkan RUU MHA ke Prolegnas Prioritas 2025 menunjukkan keseriusan DPD RI dalam mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
Dengan perjuangan dari berbagai pihak, RUU ini diharapkan dapat segera disahkan dan menjadi tonggak sejarah dalam perlindungan masyarakat hukum adat di Indonesia.
Penrad optimistis bahwa semangat kolektif dari seluruh anggota DPD RI dapat mewujudkan harapan ini.
“Kita harus bekerja keras untuk memenuhi aspirasi masyarakat adat. Karena pengesahan RUU ini merupakan rekognisi dan penegakan keadilan bagi masyarakat adat yang sudah terlalu lama terpinggirkan,” tutupnya.[]
)**Tjoek