Atjeh (HukumWatch) :
M. Salim dan istrinya, Juminiati, warga Desa Simpang Kelaping, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, tidak pernah membayangkan perjalanan hidup mereka berubah drastis hanya karena sebuah kabar buruk dari anaknya yang tengah menimba ilmu di sebuah pesantren di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Anak mereka menjadi korban penganiayaan santri lain pada 12 November 2024, sebuah peristiwa yang bukan hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma mendalam.
Ironisnya, korban tak mendapat penanganan medis yang layak. Lebih menyakitkan lagi, pihak pesantren justru terkesan lepas tangan, bahkan sempat meminta kasus ini tidak dilaporkan ke aparat hukum. Ancaman demi ancaman datang, membuat keluarga ini semakin terjepit.
Empat hari setelah kejadian, M. Salim baru mengetahui kondisi anaknya dari sang anak sendiri yang melarikan diri bersama tiga korban lainnya. Berbekal uang pinjaman, Salim dan istrinya menyusul ke Jawa Barat dengan membawa serta dua anak kecil mereka.
Upaya mencari keadilan dimulai sejak laporan ke Polsek setempat, kemudian diteruskan ke Polres Bogor. Namun, bukannya mendapat kepastian hukum, Salim justru berkali-kali dipingpong janji. Surat pemberitahuan perkembangan penyidikan (SP2HP) yang mereka terima pun selalu telat, bahkan tak jarang baru turun setelah berulang kali didesak.
Kasus ini sempat diarahkan ke Sekretariat Lapor Mas Wapres dan Kementerian PPPA, namun penyelesaian di tingkat kepolisian tetap berjalan lambat. Hingga kini, sudah 9 bulan lebih kasus ini bergulir tanpa kepastian penahanan terhadap pelaku.
Diseret Masalah Baru: Gugatan LBH Rp 500 Juta
Luka keluarga ini makin dalam ketika sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang awalnya mereka datangi untuk pendampingan, justru berbalik menggugat mereka Rp 500 juta. Alasannya, pencabutan kuasa hukum yang sebelumnya mereka berikan.
Lebih ironis lagi, LBH tersebut ternyata juga menjadi kuasa hukum pesantren dan tersangka pelaku penganiayaan. Hingga kini, LBH itu bahkan masih menahan dokumen penting keluarga, mulai dari KTP, KK asli, hingga akta kelahiran anak-anaknya.
“Sekarang kami dituntut Rp 500 juta, padahal kami hanya ingin mencari keadilan. Semua ini terasa seperti skenario yang dibuat-buat,” ujar Juminiati dalam pesan suara lirih kepada Staf Ahli Haji Uma, 18 Agustus 2025.
Harapan baru muncul ketika M. Salim dan istrinya mengadukan kasus ini kepada H. Sudirman Haji Uma, Anggota Komite I DPD RI asal Aceh, pada 17 Agustus 2025. Senator yang akrab disapa Haji Uma itu menyatakan keprihatinan sekaligus komitmen untuk mengawal kasus ini.
“Kita berkomitmen untuk membantu dan mengawal kasus ini agar diselesaikan secara berkeadilan,” tegas Haji Uma, 20 Agustus 2025.
Ia juga menyatakan akan segera menyurati Kapolres Bogor dengan tembusan ke Polda Jawa Barat dan DPD RI, agar penegakan hukum berjalan sesuai prosedur dan memberikan rasa keadilan kepada korban.
Selain itu, Haji Uma mengajak seluruh masyarakat Aceh, khususnya komunitas Gayo di Jabodetabek, untuk ikut memberi perhatian dan mendukung perjuangan keluarga ini.
Jalan Terjal Menuju Keadilan
Kisah M. Salim dan istrinya adalah potret nyata betapa terjalnya jalan menuju keadilan bagi rakyat kecil. Dari desa di Aceh Tengah hingga ke Bogor, mereka rela menjual harta benda, berkorban waktu, bahkan mempertaruhkan hidup di tanah rantau, hanya demi satu tujuan: keadilan bagi anak mereka.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi aparat penegak hukum, pesantren, hingga lembaga bantuan hukum yang seharusnya menjadi sandaran rakyat kecil. Keadilan bukanlah hadiah, melainkan hak yang harus diperjuangkan.
Semoga langkah kecil dari suara rakyat Aceh melalui Haji Uma bisa membuka pintu besar bagi hadirnya hukum yang benar-benar berpihak pada korban.
Keadilan jangan hanya menjadi wacana, tapi harus benar-benar dirasakan oleh mereka yang terluka.
)*** Tjoek / Foto Istimewa