Jakarta, HukumWatch –
Futso Junior dan Pacil, dua orang anak, dimana terpaksa harus berhadapan dengan hukum, demi keadilan telah dituntut melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP buntut dari perkelahian antar kelompok remaja yang terjadi pada hari Kamis, 29 Agustus 2024 di Jalan Merak IV Rt.002 Rw.008 Kel. Bintaro Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan, yang mana telah merenggut korban jiwa.
Adapun proses jalannya persidangan anak Futso Junior dan Pacil memang telah terbukti terlibat atau berada di dalam peristiwa tawuran maut itu. Akibat dari peristiwa tersebut Jaksa Penuntut Umum menuntut agar anak-anak tersebut tetap dibina di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) selama satu tahun lamanya.
Lalu melalui panjangnya proses peradilan, hingga pada waktunya tiba, Majelis Hakim pun akhirnya menjatuhkan hukuman agar anak-anak tersebut tetap dibina selama enam bulan di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) dan kemudian dikurangi lagi dari masa tahanan yang telah dijalani selama anak menjalani proses persidangan.
Isak tangispun sontak pecah di dalam ruang persidangan anak yang ruangnya memang tidak besar. Ibu kandung serta keluarga anak-anak tersebut tak kuasa membendung tangis, antara sedih, haru dan bahagia bercampur menjadi satu, pasalnya ternyata hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim ialah lebih rendah dari apa yang dituntut oleh Tim Jaksa Penuntut Umum.
Perlu diketahui pula, selama jalannya proses persidangan Futso Junior dan Pacil, didampingi oleh Tim Penasehat Hukum dari POSBAKUM PERADIN Jakarta Selatan.
“Kita sedari awal fokus dan konsisten mendampingi ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum), karena memang kan ini posisinya anak yah, ditambah lagi mereka juga memang berasal dari keluarga tidak mampu, beserta keadaannya yang memang tuna hukum, jadi sudah menjadi barang tentu menggugah kami dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma,” jelas Capt. Andika Chandra Permata, S.T, anggota POSBAKUM PERADIN Jakarta Selatan, yang akrab disapa Capt. Chandra, saat ditemui (25/09).
Siapa mengira jika ternyata salah satu dari kedua anak itu adalah seorang santri yang telah ditinggal oleh ayah kandungnya, dan saat peristiwa terjadi tengah menjalani musim liburan dari Pondok Pesantren.
“Jadi betul, kita memang tidak pernah sekalipun membenarkan suatu perbuatan kekerasan, namun demikian, seandai kita mau memperbaiki suatu keadaan sosial, penting bagi kita untuk melihat adequte veroozaking – nya dulu seperti apa, disitu aspek lingkungan, kebudayaan, termasuk keadaan ekonomi suatu wilayah, dan banyak aspek lain,” papar Capt. Chandra lebih jauh.
“Sekali lagi, tak bosan kita ingatkan kepada keluarga terdakwa agar tetap menjalin persaudaraan yang baik dengan keluarga korban. Meski tidak mampu mengembalikan nyawa korban, namun setidaknya menjadi perwujudan yang tulus sebagai insan manusia, khususnya atas dukungan sosial dan psikologi terhadap keluarga korban,” tukasnya.
)**D Junod